Jumat, 16 April 2010

Cerpen : " SEBUAH KEHIDUPAN "



Dewasa kini ku beranjak . Tangga – tangga hidup ku tapaki setapak demi setapak, mengungkap lika – liku misteri dalam sebuah kehidupan yang kian hari kian terungkap seiring berjalannya hari-hariku. Semakin lama semakin ku pahami arti dari sebuah fatamorgana kehidupan. Dimana aku habiskan waktu - waktuku, dimana aku berjalan dan memahami sebuah arti. Terlahir dalam kondisi yang serba kekurangan, terlahir dalam kondisi yang tak sempurna membuatku belajar sedari kecil untuk selalu berbakti kepada kedua orang tuaku. Beliau – beliau lah yang telah menopang hidupku, bersabar dalam membesarkan dan merawatku. Sungguh sangat laknat dan durhaka lah diriku andaikan tak ku patuhi mereka. Dengan segenap rasa cinta kasih yang tulus, yang telah mereka berikan padaku. Aku akan membalasnya meskipun takkan pernah bisa kugantikan dengan apapun yang ada di dunia ini.

24 tahun sudah usiaku. Usia dimana seorang wanita telah mencapai titik langkah pertama dalam kehidupan untuk memasuki jenjang baru bersama pasangan hidup yang telah Tuhan karuniakan. Namun aku masih ingin terus berkarier. Masih belum ada keinginan dihatiku untuk melangkah kejenjang pernikahan. Suatu ketika ada seorang dari teman kerjaku mendekatiku. Aku hanya diam dan akhirnya ia berbicara. “eehm…ummm maaf Tiara, boleh aku duduk disini?”
“ya boleh saja..ada apa nih Ren? Kok tumben kesini?hayo..pasti mau nitip kerjaan ya??” Tanya ku pada Rendy. “Ah..gak kok..sejak kapan aku nitip kerjaan kekamu??” jawabnya dengan senyum. “Lalu? Gak biasanya kan kamu kesini..”, Tanyaku heran. “Umm.. gimana ya ..Aku gak enak nih ngomongnya ke kamu…Umm…Tiara....Nanti malem aku mau ngajak kamu dinner skalian jalan – jalan ke Mall. Kamu ada waktu gak?? Kelihatannya kamu sibuk banget ya??”, Tanya Rendy gugup. “ow..mau ngajakin makan malem ya?? Tumben nih…Aku gak sibuk kok..Tapikan biasanya kamu kalo jalan sama si Vita. Kok gak ngajak dia??” “Ah… gak juga kok. Vitanya aja yang biasa ngajak aku jalan. Aku ama Vita kan satu staff jadi sering ada waktu longgar yang barengan. Tapi udah beberapa minggu ini Vita sibuk. Maklum dia kan mau dipindah kerja ke cabang lain. Jadi ya jarang ketemu dan jarang bisa ngajak dia.” Cerita Rendy panjang lebar. “Ow gitu…ya gak apa – apa sih. Toh juga ntar malem gak ada jadwal dan gak lembur kok. Insya Allah aku bisa.” Jawabku. “kalo gitu nanti sekalian aku anterin pulang ya…Biar sekalian tau rumah kamu. Jadi ntar malem gak bingung nyari alamatnya. Gak apa – apa kan Ra??” Rajuknya. “Aduh gimana ya Ren?? Nanti sepulang dari kantor aku mau ke apotek dulu. Mau nebus obat ibu.”, “Kalo gitu sekalian aja aku anter kamu ke apotek trus pulang deh.Gimana?”, “Aduh…jadi gak enak nih Ren…Ngrepotin kamu..” Jawabku sedikit tak enak. “Tiara….gak apa- apa kok…Santai aja kali…Kan aku juga yang nawarin kamu. Bukan kamu yang minta.Ya udah lanjutin aja kerjaan kamu. Maaf ya ganggu. Ntar pulang kantor kamu nunggu di depan aja ya. Aku ambil mobil dulu.” Jawabnya sambil berlalu. “ok bos!” jawabku santai. Dari situlah kami menjadi akrab dan dekat. Namun perasaanku masih biasa saja. Aku tak merasa jatuh cinta pada Rendy. Namun berbeda dengan Rendy. Ternyata dia memendam rasa padaku. Aku tak menyangka di suatu malam dia mengajakku makan malam. Bagiku ini hal biasa, karna Rendy sering mengajakku ketika waktu luang. Tapi ini malam yang berbeda dari malam – malam sebelumnya. Setelah kami menyelesaikan makan malam, Rendy menatap wajahku serius, menembus titik bola mataku. Aku sedikit tak enak dengan tatapannya waktu itu. Lalu kuberanikan bertanya. “Hellow,,,Rendy???”, sambil mengibaskan tanganku didepan wajahnya. Dengan santai ia menjawab. “Apa sich Tiara???Gak boleh ya aku liat kamu??umm Tiara,,,Boleh aku nomong sesuatu??”, Tanyanya. “Apa sih Ren??Ngomong tinggal ngomong kok pake ijin segala..”, “Gini,, jujur ya,,slama ini aku ngrasa nyaman banget Ra ma kamu. Perasaanku jadi beda tiap ketemu kamu. To the point aja ya..Sebenernya,,,,aku,,,,,,mmmmmmm,,,,sebenernya aku,,,,suka sama kamu Ra…..mau gak jadi pendamping hidup ku???”,bicaranya sangat gugup. Sontak aku kaget. Namun aku tak ingin ia mengulangi perkataannya. Aku menjawabnya dengan hati – hati, karna aku tak ingin menyakitinya. “Ren,aku bener – bener minta maaf, aku belum bisa nerima pinanganmu untuk saat ini. Karna masih banyak yang harus aku selesaikan. Insya Allah jika Tuhan mengizinkan kamu jadi jodoh aku. Kita pasti dipersatukan kembali kok. Maafin aku ya Ren..”, “Huft….baiklah Tiara,,aku tau ini belum tepat wakunya untuk aku mengatakan hal ini. Maaf ya”. Aku hanya mengangguk.Sejak saat itu, Rendy masih mau berbaik hati denganku hinga saat ini.
Kulakukan semua ini karna aku masih ingin bekerja untuk menghidupi keluarga. Siapa lagi yang akan menghidupi keluarga kalau bukan aku. Ibu sudah renta dan sakit - sakitan, aku adalah anak sulung meskipun aku seorang wanita dan adik – adikku terdiri dari 1 laki – laki dan 1 perempuan. Tetaplah aku sebagai kakak mereka yang mengurusi segala kebutuhan mereka, dari sandang, pangan dan pendidikan. Karna aku tak ingin menelantarkan mereka. Apalagi membiarkan mereka putus sekolah. Aku ingin melaksanakan dengan baik kewajibanku sebagai anak paling besar.
Dan pastinya melihat ibu bahagia di usia rentanya. Agar ibu bangga dan tak menyesal telah melahirkan anak seperti aku 24 tahun silam.

15 tahun sudah kami hidup tanpa kehadiran ayah. Tanpa kasih sayang seorang ayah. Hanya dengan ibu kami bersandar. Hanya dengan ibu kami menjalani hari – hari. 15 tahun sudah ibu menjadi single parents. Menghidupi ketiga anak – anaknya. Berperan ganda sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Sungguh berat beban yang harus ibu pikul sendiri. Tanpa seorang pendamping hidup. Tempat dimana ia dapat berkeluh kesah, dimana tempat ia bersandar dan berbagi. Namun ia tetap berdiri dan melanjutkan perjalanan hidup besama ketiga anaknya. Karna bagi ibu yang pergi biarlah pergi, jangan terus ditangisi ataupun disesali. Karna semua yang diciptakan pasti akan kembali lagi pada yang menciptakan. Dan ibu pun berkata hanya kamilah harta terbesar dan termahal yang ibu miliki.

Ibu di mataku adalah sosok wanita yang kuat dan tegar. Tak kenal lelah dan lantas menyerah. Itulah sosok wanita hebat yang kukagumi. Ibu. Terkadang aku menangis melihat wajah ibu, ketika ia tertidur di kursi sehabis bekerja. Terkadang ku belai rambutnya yang kian memutih. Kuusap peluh yang bercucuran di wajahnya. Kemudian kukecup kening dan pipinya penuh kasih sayang. Kubiarkan ibu tertidur di kursi panjangnya. Agak ku benahi posisi tidurnya, ku tatakan bantal dan selimut agar ibu merasa nyaman dan hangat.

Semenjak kepergian ayah, ibu berusaha keras untuk bekerja. Sesekali ku luangkan waktu untuk membantunya sebelum berangkat ke sekolah maupun sepulang sekolah. Fisikku yang sedikit tak sempurna mengakibatkan aku banyak diremehkan bahkan banyak mendapat cacian dari orang – orang di sekelilingku. Saat pertama kali aku mendapat ejekan, aku tak kuasa menahan tangis dan amarahku. Sempat aku menyesal telah dilahirkan dalam kondisi cacat. Sempat pula ku tanyakan pada ibu dan ayah sambil menangis, “Mengapa aku harus di lahirkan dalam keadaan cacat seperti ini?!!” Dan di saat itulah kulihat wajah ibu berubah sendu, dalam hati ku berkata “Ya Allah aku mohon ampun atas segala perkataanku yang telah menyakiti hati ibu. Ya Tuhan tak seharusnya kulontarkan kata – kata itu terhadap ibu yang telah dengan susah payah melahirkan aku ke dunia, tanpa mengetahui sesuatu apapun yang terjadi saat aku dilahirkan. Ibu pun tak meminta aku terlahir dengan cacat di tubuhku. Aku sadar ini adalah ujian darimu untukku dan untuk kedua orang tuaku.” Cepat – cepat ku meminta maaf dan bersimpuh dihadapan ibu yang ketika kulihat matanya telah basah dengan air mata. Tak kuasa ku melihatnya. Ku dekap tubuh ibu yang hangat dan ku bisikkan lembut di telinganya, “Ibu maafkan aku yang tak bisa mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepadaku. Ibu, aku menyayangimu…” Tak terasa ayah pun mendekap kami dalam deru tangis bahagia. Yang aku rasakan adalah kebersamaan dan kasih sayang yang takkan pernah dapat tergantikan oleh kasih sayang siapapun. Kami pun larut dalam suasana saat itu.

Sejak saat itu kubiarkan apa kata orang – orang yang merendahkan aku. Aku berusaha tegar dan dewasa menghadapi semua ujian dalam hidupku. Sampai suatu ketika dihari kematian ayah. Aku merasa kehilangan sosok pahlawan dimataku. Aku kehilangan seseorang yang selalu menjadi penyemangat di setiap langkah hidupku. Sempat aku merasa down. Tetapi kembali lagi ibulah yang menenangkan aku. Sungguh beruntung diriku terlahir ditengah keluarga yang penuh dengan kasih sayang ini.

Banyak yang aku pelajari dari sebuah kehidupan. Hidup untuk terus berusaha dan pantang menyerah. Aku memang punya kelemahan, tetapi aku pun punya kelebihan. Bahkan aku percaya dan yakin bahwa aku mampu meraih prestasi demi prestasi. Dan aku percaya aku lebih mampu berprestasi dibandingkan dengan orang – orang yang terlahir normal. Kecantikan, kekayaan, dan kesempurnaan bagiku belumlah cukup untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Justru dari kelemahan, kesederhanaan, dan ketidaksempurnaan diriku inilah yang menjadi titik awal dari semua keberhasilan yang tertunda.

Kebahagiaan yang telah aku dapatkan adalah karunia Allah yang tiada kira. Kini ku tlah dewasa dan mampu untuk mengarunginya sendiri. Tak lupa ku haturkan salam dan terimakasihku pada ayah yang telah mengajarkan aku banyak hal yang tak kudapatkan di luar sana. Dan ibu…yang telah menguatkan aku dan mengajariku menjadi wanita yang kuat dan mampu bersikap mandiri. Tanpa kalian semua aku takkan mampu bertahan hidup.
“Terimakasih ayah…..ibu……aku kan tetap mencintai kalian hingga akhir hayatku………….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar